Masalah tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terus menjadi sorotan di berbagai wilayah, terutama di perkotaan besar. Fenomena ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki lulusan dengan kebutuhan dunia kerja. Oleh karena itu, penyesuaian kurikulum pendidikan menjadi kunci fundamental dalam mengatasi persoalan ini dan mempersiapkan generasi muda yang lebih siap kerja.
Tingginya angka pengangguran ini seringkali disebabkan oleh kesenjangan keterampilan (skills gap). Industri dan perusahaan membutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi dan keterampilan spesifik yang mungkin belum sepenuhnya diajarkan dalam kurikulum sekolah saat ini. Misalnya, perkembangan teknologi yang pesat menuntut keterampilan digital yang relevan, sementara sebagian kurikulum masih berfokus pada pendekatan konvensional. Kondisi ini membuat lulusan kesulitan bersaing di pasar kerja yang sangat dinamis.
Dampak dari tingginya angka pengangguran ini tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Potensi produktivitas generasi muda menjadi tidak optimal, dan ini bisa menghambat laju pembangunan. Oleh karena itu, sangat mendesak bagi lembaga pendidikan untuk beradaptasi dan membuat kurikulum yang lebih responsif terhadap perubahan tuntutan industri.
Solusi utama terletak pada pengembangan kurikulum yang lebih relevan dan berorientasi pada praktik. Ini bisa dicapai melalui penguatan pendidikan vokasi yang melibatkan lebih banyak sesi praktik kerja industri (magang). Magang memberikan pengalaman nyata kepada siswa, melatih mereka dengan keterampilan yang dibutuhkan, dan membangun jaringan profesional. Kolaborasi erat antara sekolah, pemerintah, dan dunia usaha/industri (DUDI) menjadi sangat penting untuk memastikan kurikulum sesuai dengan standar dan kebutuhan pasar.
Sebagai informasi, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Mei 2025 menunjukkan bahwa lulusan SMA/SMK masih mendominasi struktur pengangguran terbuka di beberapa ibu kota provinsi, salah satunya mencatat sekitar 20% pengangguran berasal dari jenjang tersebut. Menanggapi data tersebut, seorang praktisi pendidikan vokasi, Bapak Rahmat Hidayat, dalam sebuah wawancara daring pada hari Selasa, 13 Mei 2025, pukul 22:37 WIB, menyatakan, “Tingginya angka pengangguran ini adalah alarm bagi kita untuk segera mereformasi kurikulum. Kurikulum harus menjadi jembatan, bukan jurang pemisah, antara sekolah dan dunia kerja.”