Stop Bullying: Kenapa Berempati Lebih Baik dari Menghukum?

Perilaku bullying di lingkungan sekolah menjadi isu yang terus menerus muncul dan meresahkan banyak pihak. Untuk mengatasinya, pendekatan konvensional yang hanya mengandalkan hukuman seringkali tidak cukup efektif. Strategi yang lebih menjanjikan dalam upaya Stop Bullying adalah dengan menanamkan empati, yaitu kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain. Pendekatan ini berfokus pada pembinaan karakter pelaku dan pemulihan korban, alih-alih sekadar pemberian sanksi.

Hukuman, seperti skorsing atau sanksi fisik, mungkin bisa menghentikan perilaku bullying untuk sementara. Namun, pendekatan ini jarang sekali menyentuh akar permasalahan. Pelaku bullying seringkali memiliki masalah emosional atau psikologis yang tidak terselesaikan, seperti rasa tidak aman, kurangnya perhatian, atau bahkan trauma. Memberikan hukuman tanpa mencari tahu penyebabnya hanya akan membuat mereka merasa semakin terpinggirkan dan mungkin mengulangi perbuatannya di lain waktu atau di tempat lain. Dalam sebuah studi yang dirilis oleh Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) pada hari Jumat, 25 November 2024, dilaporkan bahwa 60% kasus bullying yang ditangani kembali terulang dalam satu tahun jika hanya diberikan sanksi tanpa intervensi psikologis.

Sebaliknya, pendekatan yang berlandaskan empati berupaya menggali alasan di balik perilaku bullying. Guru dan konselor sekolah dapat mengadakan sesi konseling untuk pelaku, membantu mereka mengidentifikasi dan mengelola emosi negatif. Melalui dialog yang terbuka dan suportif, pelaku diajak untuk membayangkan diri mereka berada di posisi korban, merasakan ketakutan, kesedihan, dan rasa malu yang dialami. Pendekatan ini dapat memutus siklus kekerasan dengan membangun kesadaran dan penyesalan yang tulus, yang jauh lebih kuat daripada rasa takut akan hukuman. Di sebuah sekolah menengah di Kota Medan, pada tanggal 14 Oktober 2025, program “Pekan Empati” yang melibatkan siswa dalam kegiatan simulasi dan diskusi berhasil mengurangi laporan kasus perundungan hingga 40% dalam satu semester.

Strategi Stop Bullying yang efektif harus melibatkan seluruh ekosistem sekolah. Tidak hanya pelaku, korban juga memerlukan dukungan penuh. Pendekatan humanis memastikan korban mendapatkan perhatian dan pemulihan psikologis yang memadai, sehingga mereka tidak mengalami trauma berkepanjangan. Selain itu, guru, orang tua, dan seluruh staf sekolah perlu disatukan dalam satu visi: menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan penuh rasa hormat. Laporan dari kepolisian, tepatnya dari Polsek Cilandak pada hari Kamis, 18 September 2025, menunjukkan bahwa laporan kasus bullying di wilayah mereka menurun drastis di sekolah yang aktif menyelenggarakan seminar anti-perundungan bagi siswa dan orang tua.

Pada akhirnya, pendekatan berbasis hukuman hanya mengatasi gejala, sementara pendekatan berbasis empati menyembuhkan penyakitnya. Stop Bullying secara permanen membutuhkan komitmen untuk membentuk karakter yang kuat, bukan hanya memaksakan kepatuhan. Dengan mengajarkan empati, kita tidak hanya menghentikan perilaku buruk, tetapi juga menciptakan individu yang peduli dan masyarakat yang lebih beradab.