Propaganda Orde Baru: Media dan Pengendalian Informasi

Selama 32 tahun berkuasa, Orde Baru di Indonesia sangat piawai memanfaatkan media. Propaganda Orde Baru menjadi alat ampuh untuk mengendalikan informasi dan opini publik. Pemerintah menyadari betul kekuatan komunikasi. Ini adalah strategi kunci untuk menjaga stabilitas dan melanggengkan kekuasaan di tangan Presiden Soeharto.

Setelah gejolak 1965, pemerintah gencar merehabilitasi citra. Mereka membangun narasi bahwa Orde Baru adalah penyelamat bangsa. Media menjadi corong utama dalam menyampaikan pesan ini. Berita dan informasi yang disajikan selalu mendukung kepentingan rezim yang berkuasa.

Pemerintah menerapkan sensor ketat terhadap media. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) adalah instrumen kontrol utamanya. Media yang kritis atau dianggap menyimpang bisa langsung dibredel. Ini membuat jurnalis dan penerbit sangat berhati-hati dalam memberitakan.

Propaganda Orde Baru juga merambah televisi dan radio. TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi nasional saat itu. Semua program berita diawasi dan disensor ketat. Siaran radio RRI juga memiliki fungsi serupa. Informasi satu arah dari pemerintah sangat dominan di ruang publik.

Kurikulum pendidikan juga menjadi bagian dari propaganda. Mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan penataran P4 diwajibkan. Ini bertujuan menanamkan ideologi Pancasila versi pemerintah. Pelajaran sejarah pun diseragamkan, menekankan peran Orde Baru sebagai penyelamat bangsa.

Narasi pembangunan menjadi tema sentral propaganda. Gambar-gambar keberhasilan proyek infrastruktur ditampilkan masif. Swasembada pangan dan pertumbuhan ekonomi selalu dibanggakan. Ini untuk membangun citra positif pemerintah di mata rakyat. Rakyat diajak fokus pada kemajuan materi.

Di balik semua itu, ada upaya pembungkaman suara kritis. Tokoh oposisi dan aktivis yang berani bersuara diberangus. Kebebasan berpendapat praktis tidak ada. Propaganda Orde Baru memastikan bahwa hanya satu versi kebenaran yang boleh beredar luas di masyarakat.

Pemerintah juga menggunakan slogan-slogan pembangunan. Seperti “Pembangunan Merata untuk Semua” atau “Trilogi Pembangunan”. Slogan-slogan ini terus-menerus didengungkan di media. Tujuannya adalah untuk membentuk pola pikir masyarakat agar sejalan dengan arah pemerintah.

Dwifungsi ABRI juga memiliki fungsi propaganda tersendiri. Militer selalu digambarkan sebagai pelindung rakyat. Keberadaan mereka di berbagai lini kehidupan. Ini untuk menunjukkan kekuatan dan kesetiaan terhadap negara. Citra militer sangat dijaga ketat oleh pemerintah.