Masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah fase penting bagi remaja untuk mengembangkan berbagai keterampilan sosial, termasuk kemampuan membangun empati. Empati, atau kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan, adalah fondasi bagi hubungan interpersonal yang sehat dan harmonis. Di tengah dinamika pertemanan yang semakin kompleks dan tantangan sosial yang beragam, membangun empati di kalangan siswa SMP menjadi sangat krusial untuk menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif dan suportif.
Pengembangan empati di SMP dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Salah satunya adalah melalui kegiatan kolaboratif yang mendorong siswa untuk bekerja sama dalam kelompok. Misalnya, proyek kelompok yang mengharuskan mereka memahami perspektif dan kebutuhan rekan tim, atau diskusi kelas yang membahas isu-isu sosial dan etika. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Institut Pendidikan Nasional pada 11 November 2024 menunjukkan bahwa siswa yang terlibat dalam proyek kemanusiaan di sekolah memiliki skor empati 25% lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak terlibat. Kegiatan seperti kunjungan sosial ke panti asuhan pada tanggal 17 Oktober 2024 oleh siswa-siswa SMP Bhakti Jaya, misalnya, secara langsung memberikan pengalaman berharga dalam memahami kesulitan orang lain.
Peran guru dan kurikulum juga sangat signifikan dalam membangun empati. Guru dapat menjadi teladan dengan menunjukkan empati dalam interaksi mereka dengan siswa, serta mengintegrasikan pelajaran tentang keragaman, toleransi, dan keadilan sosial ke dalam materi ajar. Membaca cerita atau menonton film yang memicu diskusi tentang perasaan dan pengalaman karakter dapat menjadi cara efektif untuk melatih siswa menempatkan diri pada posisi orang lain. Menurut laporan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Yogyakarta pada Februari 2025, program “Guru Peduli Siswa” yang diluncurkan di beberapa SMP berhasil meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami dan merespons emosi teman sebaya.
Namun, tantangan dalam membangun empati juga ada, terutama ketika berhadapan dengan kasus perundungan atau perilaku diskriminatif. Dalam insiden yang dilaporkan kepada Polsek Cilandak pada hari Minggu, 21 Juli 2024, seorang petugas kepolisian menekankan pentingnya intervensi cepat dan edukasi berkelanjutan untuk mencegah perundungan, karena perundungan sering kali berakar pada kurangnya empati dan pemahaman terhadap dampak perilaku negatif.
Oleh karena itu, upaya kolektif dari sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk fokus pada membangun empati di kalangan siswa SMP adalah investasi yang sangat berharga. Remaja yang tumbuh dengan empati yang kuat akan menjadi individu yang lebih peduli, bertanggung jawab, dan mampu berkontribusi positif dalam menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan toleran.
